BERITABANJARMASIN.COM - Status kepemilikan Pasar Sudimampir dan Pasar Ujung Murung yang masih belum jelas sempat di ungkapkan Wakil Wali Kota Banjarmasin, Hermansyah di pertengahan November lalu.
FOTO Pasar Ujung Murung Tempo dulu (sumber: museum tropen Belanda, dan sumber lainnya).
Menurut Hermansyah status kepemilikan kedua pasar tersebut tidak jelas karena dari pemerintah memiliki surat yang sah dalam hal kepemilikan bangunan maupun tanah pada pasar tersebut.
Namun di sisi lain pada pihak swasta dan perorangan juga memiliki sertifikat hak milik pada bangunan di dua pasar tersebut. Seperti yang dimiliki salah satu warga, setidaknya ada delapan toko yang dimilikinya beserta sertifikat kepemilikannya.
Terkait hal tersebut ahli sejarah dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur menjelaskan berdasar data historis kedua pasar tersebut sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda memang pernah berdiri pasar yang didirikan oleh perusahaan swasta dengan nama Soedi Mampir.
"Nama Soedi Mampir pertama kali dipakai dalam Majalah Poetri Hindia Nomor 3, 1909. Pembangunan Pasar Sudimampir mulai digagas Ir Kartens tahun 1937. Pembangunan dilaksanakan bertahap hingga tiga sampai lima tahun dan realisasinya hingga 1942," tutur Mansyur kepada BeritaBanjarmasin.com, Kamis (6/12/2018).
Mansyur menyebutkan pada kawasan tersebut terdapat Toko Mas Ing Hin Kongsie, yang menjual uang mas, mata berlian, intan dan perak lantak, dan lain lain. Kemudian toko milik Amran Abdoellah, Toko Adil Simpang Soedimampir, selanjutnya Andalas Toko, Bandjer" Toko Soedimampir, Familie, Firma Toko Simpang Soedimampir II, Toko milik H Gazali bernama Toko Sedjahtera.
Kemudian Handel Soedimampir, toko milik Ge Lis Kang, Merk Sm Swie Hoe Soedimampir blok Gemeente. Filiaal Toko Soedimampir, milik Hoek Oen Soen, Toko Simpang Soedimampir II, Hongkong Restaurant, Soedimampir, ava Bar & Restaurant Pabrik Java Pasar Soedimampir, serta Hoean Kioe Kongsie. Toko milik Ma Béng Sang, Manufacturen Handel milik Lim Hak Joe dan sebagainya.
Dengan demikian kepemilikan pasar tersebut memang milik swasta ataupun perorangan sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, namun sejak kedatangan Jepang ke Indonesia pada awal tahun 1940-an, toko dan bangunan kedua pasar tersebut dihancurkan tanpa sisa.
"Pada masa Jepang ini dilakukan penghancuran Kota Banjarmasin secara besar-besaran oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tujuannya agar fasilitas ini tidak digunakan oleh Jepang. Deretan toko di Pasar Ujung Murung sampai dengan Pasar Lima habis, termasuk pula daerah Sudimampir," terang Mansyur.
Mansyur berasumsi kemungkinan besar ada mata rantai sejarah yang hilang terkait soal status kepemilikan dua pasar tersebut setelah dihancurkan oleh pemerintah Hindia Belanda tidak ditemukan sumber yang valid untuk status kepemilikan dua pasar tersebut.
"Akan tetapi disamping ketidak jelasan status kepemilikan pasar tersebut para pedagang tetap sampai sekarang memanfaatkan pasar tersebut sebagai sumber mata pencaharian untuk menyambung kehidupan," kata Mansyur. (arum/sip)
Posting Komentar